___NyanYiaN PeRjaLanaN___
Saturday, August 27, 2005
Lelaki, penggenggam semangat

Lelaki. Berdiri di sisi motor, sebelum persimpangan jalan.
Dahulu, beberapa depa dari tempatnya sekarang, ia senantiasa berdiri pula. Berdiri di depan pintu bilik, memberi senyum. Berdiri di balik meja hidang, memotong, mengiris daging-jeroan, mengaduk kuah dalam tungku besar, menuang ke dalam mangkok. Lelaki, dahulu ia berdiri di dalam sebuah bilik, tempat ia berjualan coto.
Kini, beberapa depa dari tempatnya sekarang, bilik itu telah tiada. Tersisa lantai semen saja.
Lelaki, di awal pagi -dahulu dan kini-, tidak jarang kami bertatap muka. Di koridor penghubung kamar operasi dan ruang perawatan lantai dua. Ia, penyedia jasa kebersihan.
Dahulu, sebuah rutinitas; selepas pagi, ia mulai membuka biliknya. Menata meja kursi, meracik menu, melayani para penyantap. Hingga malam. Setelah penggusuran di penghujung mei itu, selepas pagi, ia berdiri di sisi motor. Menawarkan jasa ojek, hingga akhir senja. Karena malam, beberapa anggota kavaleri melakoni pekerjaan yang sama.
"Buat biaya sekolah anak, jangan sampai terhenti." Sepenggal perbincangan kami di satu sore, dalam perjalanan pulang -saya meminta jasa ojeknya-. Saat itu pula, ia bercerita kerisauannya akan harga bensin yang naik karena sulit diperoleh. Kini, ketika para penentu kebijakan hendak menaikkan harga BBM, apakah ia merisaukan hal yang sama? Entahlah.
Lelaki, yang kerap kutemui di awal pagi, dengan rutinitas barunya selepas luka itu. Penggenggam semangat.

posted by adhip @ dalam hening kata, kala 6:53 PM  
|
Thursday, August 18, 2005
Lagu rindu

Sore;
kuning terperangkap di dinding-dinding gedung,
pias.
Mengingatmu, jauh, saya habis kata-kata.
rindu.
Sore, kuning di sela-sela gedung
diam, kunikmati seorang diri
dalam warnawarna melankoli

-------------

Pagi tujuhbelas agustus kemarin, terbebas dari tugas jaga, saya habiskan di tempat tidur. Balans, setelah semalaman harus "melek". Siaran langsung detik-detik proklamasi di seluruh stasiun tv terlewatkan. Teringat, dulu, bersama ibu, kami selalu saja duduk di depan monitor tv, menonton barisan pemuda-pemudi, dengan langkah tegap membawa dan mengibarkan merahputih. Was-was menyelubungi kami, ketika dua pemudi menuruni tangga secara membelakangi. Berharap semoga tidak terjatuh. Pun ketika merahputih membentang, semoga tidak terbalik.
Saya juga ingat, ketika seremonial ini berakhir, gegap gempita merah putih, berkibar di kota, pelosok, puncak-puncak gunung. Di balik pekik merdeka. Tayangan dari berbagai produk kretek. Membawa saya pada semangat heroik.
Tapi kali ini, melihat tayangan seperti itu lagi, saya seperti jenuh. Saya menganggapnya berlebihan. Ya, berlebih karena hanya memvisualisasi merdeka dalam arti bebas dari penjajahan. Seperti visualisasi dari sejarah di buku-buku sd. Merdeka, masih saja jauh.
Menyaksikannya lagi, kini, tak ada lagi semangat heroik. Emm... mungkin saya tidak nasionalis lagi? Mungkin.
Tapi, satu tayangan sambut tujuhbelas menarik saya. Milik PT. Djarum. Tanpa embel-embel pekik merdeka, kibaran merahputih. Bocah-bocah "penghibur" pengumpul receh di pelabuhan, rela melepas santap siang yang lama diimpikan. Sekantong receh disumbang bagi mereka yang tertimpa bencana. Ya, hati yang berbagi satukan negeri.

Melihat visualisasi bencana di tayangan ini, saya membayangkan tsunami yang melanda tanahmu. Alhamdulillah, kesepakatan damai telah tercapai. Semoga bukan hanya dalam catatan kertas. Luka, duka teramat dalam di sana. Pun dengan dendam itu. Seperti juga yang kau ceritakan padaku. Satu harap, semoga semuanya usai.

posted by adhip @ dalam hening kata, kala 5:36 PM  
|
Saturday, August 06, 2005
Dua ikan (mungkin sepasang)
dalam film GIE

Tiga pekan yang lalu, atas ide ibu soel, blogger makassar (rara, aan, leo, irfan tebas, nani, anchu, dan juga soel tentunya) nonton bareng film Gie. Menarik, walau kesannya alur di film ini terpotong-potong. Tapi, saya sangat suka dengan potongan-potongan adegannya. Artistik. Salah satunya ketika Gie menyaksikan babah dan mama nya berjalan saling terdiam, lalu berpisah. Di situ ada scene di mana terlihat penjual ikan hias. Lalu adegan berpindah pada dua ekor ikan dalam genggeman Gie yang dilepas dalam bak mandi.
Potongan adegan ini mengingatkan saya pada satu cerpen (saya menyukai cerpen ini) di cybersastra. Berikut penggalan dari cerpen itu :
AYAH tak pernah murung. Tapi, suatu pagi aku lihat dia murung. Aku tak bertanya kenapa dia murung. Aku melihat mamak menangis. Meski ia sembunyikan isak dan air matanya. Tapi aku melihat dia menangis. Aku mendengar mereka bertengkar pagi itu. Meski mereka sembunyikan pertengkaran itu. Tapi aku mendengarnya...
...Di tepi kolam di belakang rumah, kulihat ikan nila berenang. Yang besar kuning itu aku bayangkan induknya. Siapa bapaknya? Yang hitam besar itu. Mereka pernah bertengkarkah? Kolam itu ramai kecipak air, kalau induk-bapak itu bertelur. Mereka tidak bertengkar...
(cerpen lengkapnya, klik di sini)
Sepertinya riri reza menggunakan simbol dalam film ini. Seperti juga ketika Soekarno harus turun.
Btw, secara kesuluruhan, ditambah dengan soundtracknya, film ini kehitung keren (menurut saya lho, kalau kamu?).

PS. Dua ikan yang ikutan maen film itu namanya siapa ya? ikutan casting juga nggak ya? ^_^

posted by adhip @ dalam hening kata, kala 5:11 PM  
|
Wednesday, August 03, 2005
Proyeksi mimpi

Cemas yang saya alami belakangan ini, menggiring saya pada mimpi di dua malam berentetan. Saya menikmatinya. Karena di mimpi ini, terbalik dengan keadaan sesungguhnya. Dan ketika terbangun, saya coba genggam sedikit semangat untuk melewati satu hari.
(Setidaknya, berharap mimpi itu jadi nyata)
Walau pada akhirnya, cemas itu tetap saja hadir.
(Saya hanyalah pecundang yang mencuri mimpi)

Sesaat, terbersit untuk memungut kepingankepingan malam, lengkap dengan taburan bintangbintangnya. Sebagai selimut siang penghantar mimpi.

posted by adhip @ dalam hening kata, kala 7:45 PM  
|
Tuesday, August 02, 2005
Untuk kau, lelaki yang

Untuk lelaki yang menyelinap di malam hari, dengan seringai amarah. Kepada lelaki yang menikam badik di dada, menghentikan jalinan kasih ia, perempuan dan bocah lelaki. Untuk air mata yang basahi tanah merah. Terkutuklah kau.

posted by adhip @ dalam hening kata, kala 7:02 PM  
|
 
IntRo
selalu periksa keadaan batinmu
menggunakan Sang Raja dari hatimu
tembaga tidak pernah mengetahui dirinya tembaga
sebelum berubah menjadi emas
Matsnawi, Jallaluddin Rumi

DiRi
adhi/M/'79
-makassar-
menulis dan membingkai
pemimpi yang ingin mengenal tanah airnya lebih jauh
BaRugA MaKaSsaR

antarnisti
aes el barca
apiss
ardin
asri tadda
asrulsyam
batangase
blueveil
cikal61
Dg. Nuntung
dj di melbourne
essoweni
ichal
ichal di nangroe aceh darussalam
Ifool
imran
Irha
KotakJimpe
LelakiSenja
leo
mamie
nani
ntan
nyomnyom
Ocha
PasarCidu
Prof Mus
psycho-poet
pecandu buku
PuteE
RaRa
sukab
TalluRoda
TerbangBebas
Tri-Multiply
uchie


JenDeLa SapA

JenDeLa SaHabaT
i suppoRt
CataTaN SiLaM
KoTaK SiLaM
SeNanduNg
KeluArgA MayA
banner angingmammiri
BlogFam Community
BeruCaP TeRimaKasiH

Allah Maha Kuasa, pemberi hidup.
Ichal yang pertama kali memperkenalkanku pada dunia blog dan juga support plus kompienya yang siap diacak-acak,
BloggerCom buat layanan jasa gratisnya,
Isnaini.Com, buat script leotnya,
photobucket buat tempat menyimpan gambar dan foto,
dan juga karibku hitam abu - aswad - loboh yang senantiasa bersedia menjadi mata visual keduaku.

Affiliates
15n41n1